Pro Bono v Pro Deo

Ada kejadian menarik ketika saya mengajar di suatu Universitas, sekelompok mahasiswa memberikan pertanyaan kepada saya kalau berperkara bagi penggugat yang tidak mampu itu disebut apa. Kemudian saya jawab pro bono. Tak saya duga mahasiswa tersebut langsung mengcounter jawaban saya dengan jawaban guru lainnya, yaitu prodeo. Saya jelaskan bahwa kedua istilah tersebut tidak jauh berbeda. Intinya sama saja. Kalau dalam perkara perdata disebut dengan prodeo, namun untuk istilah secara umum disebut dengan pro bono.

Namun para mahasiswa tersebut tetap ngotot bahwa harus ada kejelasan istilah mana yang dipakai. Yang membuat saya terkejut bukan main adalah pernyataan mereka bahwa takut istilah yang mereka dapat tersebut ternyata berbeda dengan yang ada di Jawa. Mereka malu kalau ternyata mereka menggunakan terminologi hukum yang “keliru”. Tentu saja saya geli bukan kepalang dengan alasan yang mereka kemukakan. Baru  kali ini saya dengar ada perbedaan terminologi hukum berdasarkan klasifikasi perbedaan pulau… ^^ (mungkin ada, tapi saya yang tidak mengetahuinya barangkali).

Di Indonesia, perkara-perkara yang merupakan perkara cuma-cuma disebut dengan perkara pro deo. Namun, ada juga yang menyebut dengan istilah pro bono. Istilah pro bono lebih populer di negara-negara anglo saxon seperti di Amerika dan Eropa.

Pengertian pro bono dan prodeo sebenarnya tidak berbeda. Hanya saja di Indonesia, prodeo jauh lebih dikenal ketimbang pro bono.  Dalam Black’s Law, pro bono diartikan sebagai:

Pro bono publico (bahasa Latin), “for the public good.” Being or involving uncompensated legal services performed especially for the public good.

Pengertian lain pro bono terdapat dalam Butterworths Guides  Legal Terms, yaitu Legal work performed for the public good or in the public interest on issues of broad community concern or with significant impact on disadvantaged or marginalised groups. Legal work performed free or at a reduced fee.

Untuk pengertian prodeo sendiri dapat dilihat dalam Kamus Hukum, yang artinya adalah cuma-cuma, tanpa biaya (menurut pengertian bahasa Belanda). Dari sisi bahasa Indonesia, prodeo dapat berarti penjara. Biasanya para pihak yang tidak mampu dapat mengajukan Gugatan ataupun Permohonan secara cuma-cuma atau disebut dengan perkara prodeo. Keadaan tidak mampu tersebut harus dibuktikan dengan surat keterangan Kepala Desa/ Kelurahan dari yang bersangkutan.

Sebelum suatu Gugatan atau Permohonan dicatat dalam buku register, Penggugat terlebih dahulu harus mengajukan permohonan berperkara secara prodeo, yang apabila dikabulkan, Hakim membuat Penetapan tentang izin berperkara secara prodeo, setelah sebelumnya pihak lawan diberi kesempatan untuk menanggapi permohonan tersebut.

Perihal pemberian izin beracara secara prodeo ini berlaku untuk masing-masing tingkat peradilan secara sendiri-¬sendiri dan tidak dapat diberikan untuk semua tingkat peradilan sekaligus. Pihak Tergugat yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara, juga berhak untuk mengajukan permohonan secara prodeo dengan cara seperti tersebut diatas. Terhadap permohonan berperkara secara prodeo, Hakim membuat Penetapan tentang diizinkannya beracara secara prodeo setelah sebelumnya pihak lawan diberi kesem¬patan untuk menanggapi (Sesuai dengan Pasal 237 HIR dan Pasal 273 RBg). Apabila terhadap perkara Gugatan secara prodeo, pihak yang beracara secara prodeo itu mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Tinggi, maka ketentuan yang terdapat dalam Pasal 12, 13, 14 Undang-undang No. 20 Tahun 1947.

Hal tersebut di atas menjadi pelajaran berharga bagi saya, terutama ketika terdapat perbedaan terminologi dalam hukum. Permasalahan dalam perbandingan hukum (comparative law) pun terletak dalam masalah terminologi dan juga perbedaan bahasa.  Adanya penyamaan penggunaan istilah mungkin dapat mencegah terjadinya hal seperti yang saya kemukakan diatas.

1 Komentar

Filed under Uncategorized

1 responses to “Pro Bono v Pro Deo

  1. Info Aisyah

    thanks infonya…
    membantu bgt utk bikin makalah…
    hhe :-p